Demokrasi Indonesia:Terjebak dalam Komplikasi Kebusukan Sistemik

Oleh: Tim Ahli Iluni UI KK
Rakyat seolah terkesima dengan hiruk-pikuk jalannya demokrasi di Indonesia khususnya Pasca Lengsernya Soeharto pada 1998. Demokrasi Indonesia seolah memperoleh pencercahan dengan kebebasan pers, penyampaian aspirasi dan demonstrasi serta tampilnya 124 parpol dalam agenda Pemilu 1999, 2004 dan esok April 2009.
Rakyat seolah memperoleh akomodasi (pemenuhan aspirasi) dengan jargon-jargon parpol yang ada: masa depan keadilan, kemajuan dan kesejahteraan seolah akan menjadi kepastian bagi rakyat. Namun apa yang terjadi dalam perjalanan pada masa Habibie, Gus Dur dan Megawati hingga SBY ?. Demokrasi seolah berjalan terseok-seok sbb:

1. Kegagalan sistem politik dan demokrasi yang dijalankan pada masa Penjajahan Orla, Orba dan Orde Reformasi, sudah jelas disebabkan oleh pengingkaran keadilan, penindasan dan pembodohan kepada bagian terbesar (mayoritas) rakyat Indonesia, sehingga rakyat tetap terbelakang dan miskin. Demokrasi seolah sudah selesai dalam bidang politik, namun tidak dalam bidang ekonomi, sosial dan hankam yang mengalami sedikit perubahan. Keadilan ekonomi bagi mayoritas rakyat (petani, nelayan, pedagang dan koperasi) tidak berubah, bahkan kebijakan Release & Discharge pada pengusaha konglomerat Pengemplang BLBI oleh Pemerintah Megawati menunjukkan ketidak-adilan.

2. Demokrasi pada masa Reformasi kini yang diperankan oleh parpol-parpol yang ada, kalau kita telusuri secara cermat banyak dimainkan oleh orang-orang (tua) yang memiliki keterkaitan dengan masa lalu, baik sumber dana (tali-kendali uang), jaringan (link) kader-kader parpol Golkar, dengan pejabat-mantan pejabat-pengusaha-organisasi masa Orde Baru atau yang terkontaminasi / terlibat KKN. Demokrasi seolah sudah memberikan legitimasi hasil dari proses pemilihan umum – untuk selanjutnya menjalankan proses politik-ekonomi dan sosial dalam pembangunan. Apapun strategi, kebijakan dan program yang dijalankan, pada umumnya masih mengikuti pola lama dan yang secara umum mengingkari rakyat banyak dan Nasional: dengan kasus BPPN, penjualan BUMN & asset swasta nasional, liberalisasi kearah Oligopoli perdagangan internasional, penguasaan sumber-2 migas oleh asing, Monopoli Telkomunikasi dll.

3. Jalannya proses demokrasi kini yang memprioritaskan agenda Supremasi Sipil dengan Penegakan Hukum, telah berubah dengan munculnya pengerahan massa dan satgas parpol besar dalam menjaga kepentingannya atau penyimpangan oleh Parpol, Kader, Elit atau Pengusaha jaringan dalam melawan dan menindas kontrol, pers, kritis, demo rakyat – mahasiswa.

4. Kiprah parpol dalam pelaksanaan demokrasi, melanggar kaidah demokrasi itu sendiri dalam penetapan Calon Legislatif dan Calon (jago) dalam struktur Pemerintah, dengan tanpa musyawarah anggota parpol, dan menjadi kepentingan Elit Parpol (DPP atau DPD). Proses keterlibatan para caleg parpol dan pelolosan dalam daftar jadi banyak sekali melibatkan konspirasi dan permainan uang untuk meloloskan calon tersebut.

5. Dengan kemunculan putra-putri mantan Pejabat Lama dalam kancah politik sebagai Ketua Umum, kini diikuti kecenderungan keluarga mantan presiden menjadi Magnit kepentingan dan pengaruh untuk kembalinya kekuasaan lama yang sebenarnya telah menjadi bagian masa lampau. Kiprah dan kecenderungan ini semakin sempurna dalam menilai jalannya demokrasi kita yang penuh Nepotisme dan demokrasi semu, dipenuhi oleh eksploitasi simbol-simbol kakuasaan masa lalu.
6. Demokrasi Indonesia sejak Orde Lama hingga kini, tidak menampakkan adanya Kontrak Sosial-Politik antara Rakyat dan Partai Politik serta Capres. Pemberian kepercayaan rakyat (amanat) kekuasaan dan yang selanjutnya dijalankan oleh sistem Pemerintahan dan dipegang oleh Elit DPR/D dapat berbeda dan menyimpang dengan komitmen awal parpol. Akibatnya, jalannya kontrol kekuasaan dan Pemerintahan dipenuhi oleh penyimpangan dan pengingkaran pada rakyat.

7. Daerah, sudah sangat disibukkan oleh Lurah, Bupati, Gubernur, DPRD, DPR dan Presiden, sehingga daerah sudah sangat ”noisy, sibuk” dengan gebyar Pemilihan, apalagi hampir seluruh daerah berujung pada Konflik. Benar-benar ”kontraproduktif” dengan sikon daerah yang membutuhkan fase pembangunan riil”.

8. Demokrasi di Indonesia sudah SANGAT HIGH COST !: Contoh, Untuk Pemilihan Gubernur Jawa Timur, para Calon mengeluarkan dana Rp.5,5 Trilyun ..JAUH LEBIH BANYAK daripada Dana yang dikeluarkan 2 kandidiat Pemilihan Presiden AS yang hanya Rp.4,5 Trilyun.

9. Isi kampanye (Substansi) sangat rendah dalam menampilkan STRATEGI, PLATFORM, Visi-Misi yang diusung. Isinya: hanya sekitar : KENYANG (PERUT), KERJA dan bersifat Umum: Maju-Makmur. Tiada yang terukur!. Bahkan untuk kampanye Jawa Tengah: Seorang Gubernur dengan Jargon: JANGAN LUPA KUMISNYA (OJO LALI BRENGOSE). Benar-benar Demokrasi yang ”Terbelakang”.

Dengan demikian, demokrasi yang seolah telah berjalan baik, pada intinya mengalami mutasi yang demikian canggih mengikuti kaidah yang dikelabui dalam kelemahan demokrasi. Demokrasi kita menampakkan diri sebagai demokrasi paradoksial. Lengsernya Soeharto pada tahun 1998 telah ditetapkan agenda Reformasa oleh Mahasiswa dan Pemerintah Habibie. Namun agenda tersebut telah digantikan oleh Pemerintah yang legitimate, baik dibawah Gus Dur, Megawati dan SBY. Namun dengan, kiprah, proses perjalanan Pemerintahan pasca 1999 memberikan penampakan agenda utama : penyelesaian berbagai masalah jangka pendek yang dihadapi oleh Pemerintah, Negara dan Rakyat yang meliputi:

1. Pembayaran dan Penjadwalan hutang luar negeri oleh Pemerintah & Swasta,
2. Penyelesaian masalah perusahaan swasta nasional yang dikelola oleh BPPN sehingga BPPN mengobral asset Debitur swasta nasional yang penuh bau KKN dan Under Valued ~ dalam rangka pemasukan untuk APBN Indonesia.
3. Privatisasi BUMN yang lebih menampakkan penjualan saham untuk pemasukan APBN Indonesia yang penuh bau KKN dan Under Value,
4. Penegakan hukum hanya pamer / dagelan supremasi Hukum, yang hanya ditonjolkan pada kasus korupsi yang terkait dengan Pucuk Pimpinan Parpol, yakni Gus Dur (PKB) dan Akbar Tanjung (Golkar) ~ yang hanya menyangkut sejumlah dana BULOG Rp.77 miliar ~ Namun menyembunyikan berbagai kasus Kebocoran, manipulasi, pencurian mega raksasa setiap tahun sbb:

• Manipulasi pajak (under paid) diperkirakan lebih Rp. 100 triliun lebih setiap tahun,• Kebocoran (manipulasi, pencurian dll) Migas Rp.154 triliun / tahun,
• Pencurian Ikan senilai Rp.17 triliun / tahun,
• Pembobolan BLBI lebih RP. 900 triliun oleh Konglomerat Busuk,
• Korupsi sistemik dengan Mark-Up berbagai kontrak pembelian / pembangunan BUMN,
• Korupsi sistemik APBN & APBD yang mencapai Rp.100 triliun / th,
• Pencurian & manupulasi hasil hutan (kayu) senilai lebih Rp.17 triliun / th,
• Untuk tambang emas : semua serba Gelap : Bagaimana skema bagi hasil tambang emas Tembagapura antara PT.Freeport dengan Pemerintah RI ? (di Timika-Papua), antara Newmont dengan Pemerintah RI (di NTB), antara PT.INCO dengan Pemerintah RI di Sulsel (Nickel) ?, Pengelolaan tambang Batu-bara? Pengelolaan Tambang Migas…Hingga Agenda Hak Angket DPR th 2008: GELAP GULITA.
• Kontrol tentang ”MONOPOLI” oleh KPPU, justru mengungkapkan kasus KARTEL 3 Operator Telekomunikasi..selama 3 tahun (Kasus Tarif sms Rp.350/sms) dengan Kerugian Konsumen lebir Rp.50 trilyun. Monopoli jaringan Hypermart, Mall, Indo-Mart, Alpha-Mart justru mematikan jutaan jaringan Warung UKM.Gambaran bergelimangnya aliran uang dalam kebobrokan sistem manajemen dana Negara di Pemerintahan, jelas menjadi kepentingan yang sangat luar biasa hebat menggiurkan bagi pemegang kekuasaan dan parpol untuk terlibat dalam aliran politik uang, yakni melalui : Kompromi, Penekanan (black mail), atau tidak mau terlibat (clean). Dengan terlibatnya jaringan keterlibatan sistem manajemen Pemerintah, BUMN dan para kroni pengusaha dalam sistem pengusahaan dan kekuasaan, maka elit, kader, anggota legislatif parpol di DPR, kroni pengusaha sulit untuk tidak terlibat dalam kroni-kompromi & nepotisme dengan tatanan sistem yang telah terbangun. Kalau sudah begini, tatanan baru yang terbangun adalah simbiose mutualisme baru antara kelompok kepentingan (pejabat Pemerintah lama, kroni lama) dengan elit baru (pejabat baru & kroni baru) serta anggota legislatif/dewan. Ringkasnya: Indonesia dikuasai oleh Oligopoli Kekuasaan yang bersifat Mafia-isme.

Bagi elit baru dari parpol baru yang memperoleh kemenangan Pemilu, dan elit baru yang telah sekian lama (lebih 32 tahun) menjalani keprihatinan akibat tekanan, miskin dlsb, biasanya menampakkan agresifitas yang hebat (keserakahan) dalam menghadapi bergelimangnya uang / dana yang tidak dikontrol rakyat ~ atau dikontrol untuk sama sama tahu dan kepentingan bersama oleh elit. Sehingga mereka tidak tahu malu, menampakkan orang kaya baru (OKB) yang hidup sangat berkemewahan dengan kekuasaan yang dimiliki, bahkan kini mengabaikan bahwa kebijakan yang ditempuh sudah mengarah pada pengkhianatan negara dan membawa resiko jebakan masalah yang besar pada masa depan.

Mengingat kekuasaan adalah sumber kekayaan, maka kini demokrasi yang berkembang sebagai pertempuran parpol meraih kemenangan untuk memperoleh kekuasaan. Kekayaan (uang) kini dimobilisir oleh parpol berkuasa dengan berbagai cara (neo KKN yang hebat) untuk arsenal (modal operasional) parpol dalam kampanye untuk memperoleh kemenangan dan merengkuh kekuasaan berikutnya. Akibatnya, demokrasi yang berkembang dalam masa Reformasi ~ justru menjadikan sistem politik, bangsa dan negara menghadapi penyakit yang lebih kompleks ~ menjalar ke bagian tubuh pengawas (DPR) ~ dan melibatkan aspek / organ yang lebih vital yang meliputi kepemilikan Negara (BUMN) ~ menjalar ke sendi-sendi kroni baru yang lebih luas ~ dan lebih ganas (tidak tahu malu & lebih serakah) ~ disertai masuk-keterlibatan virus-bakteri baru dengan premanisme. Tatanan sistem pemerintah dan sistem kontrol bahkan sudah jelas-jelas terjangkiti neo-KKN secara sistemik dan kronik. Reformasi yang diharapkan dapat memperbaiki secara bertahap ~ ternyata menjadi kegagalan ~ dan menjadi demokrasi mengalami pesakitan yang lebih kompleks, rumit dan meluas.

Menyadari betapa ancaman besar terhadap bangsa-negara Indonesia akibat kekacauan demokrasi kita dan perjalanan pembangunan kedepan, kini diperlukan Sikap dan Perubahan mendasar dan bisa dikatakan Revolusioner: yakni kita harus berani melepaskan Kesalahan Pemikiran yang ternyata merupakan bentuk Penjajahan Baru (Neo Kolonisasi: Pemikiran & Teori), Menata Ulang Sistem Demokrasi (dengan hakekat utama Rakyat Berdaulat dan DPR memegang & menjalankan Amanat Rakyat) dan Penuntasan pengambilan kembali harta-harta yang dirampok (dikorup)… Ringkasnya Putar Haluan !!!. Sajian kami ini hanya untuk saudara-saudara sebangsa dalam membangun peradaban kita untuk kepastian kemajuan masa depan kita !!

Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Tinggalkan komentar